
1. Diharamkan bagi wanita yang sedang
haid untuk berpuasa. Jika ia tetap melakukannya, maka puasanya tetap tidak sah
bahkan ia berdosa.
2. Apabila seorang wanita melihat darah
haid sekalipun menjelang terbenamnya matahari, maka batallah puasanya dan
wajib baginya mengqodho’ puasa hari tersebut, jika ia sedang puasa wajib (puasa
romadhan, nazar atau kaffarah). Dan apabila ia suci dari haid menjelang
terbitnya fajar, maka wajib baginya berpuasa.
3. Boleh hukumnya bagi yang telah suci
dari haid untuk menunda atau mengakhirkan mandinya sampai setelah terbit fajar.
Sebagaimana halnya orang yang berjunub, berdasarkan perkataan ‘Aisyah : “Nabi pernah kesiangan sedang dia dalam keadaan
junub karena jima’ bukan karena mimpi, kemudian beliau berpuasa”.(HR.
Bukhari dan Muslim).
4. Jika seorang wanita merasakan akan
keluar darah haid, akan tetapi darah tersebut belum terlihat kecuali setelah
terbenam matahari, maka puasanya tetap sah.
5. Wanita yang tahu bahwa kebiasaannya
(masa haid) akan datang di esok hari, maka hendaklah baginya meneruskan niatnya
untuk berpuasa dan tidak boleh berbuka sampai dia melihat darah haid.
6. Yang
terbaik bagi wanita adalah tidak mengkonsumsi sesuatu (tentunya yang tidak
membahayakan) yang dapat menghalangi datangnya haid sebagaimana halnya
isteri-isteri Nabi yang mulia dan para wanita salafus sholih.
Namun apabila ia mengkonsumsikannya lantas dapat menghalangi keluarnya darah
haid, maka tidak apa-apa dan sah puasanya.
7. Apabila ibu hamil keguguran sedang
janinnya sudah mulai berbentuk manusia, maka hal tersebut dihukumi sebagai darah
nifas (darah yang keluar disebabkan melahirkan), maka secara otomatis
tidak boleh berpuasa. Tapi jika tidak (seperti yang telah disebutkan) berarti
itu darah istihadhoh (darah penyakit) dan wajib baginya berpuasa jika
mampu.
8. Hukum wanita yang telah melahirkan
sama hukumnya dengan wanita yang haid. Apabila si ibu bayi suci sebelum empat
puluh hari, maka wajib baginya berpuasa dan mandi untuk sholat. Tapi jika darah
keluar lagi setelah itu sementara masih kurang dari empat puluh hari, maka
darah tersebut masih dianggap sebagai darah nifas, dan ia harus menghentikan
puasanya. Namun jika darah tersebut keluar pada waktu sudah melebihi empat
puluh hari, maka hendaklah ia niat untuk berpuasa. Adapun darah yang masih
keluar (setelah 40 hari) dianggap darah istihadhoh, kecuali jika bertepatan
dengan hari datang haidnya, maka darah tersebut dianggab darah haid.
Wallahu A’lam
Sumber:
Kutaib: (تعلم فقه الصيام (
karya; Syaikh Maajid bin Su’ud dan artikel (مسالة في الصيام 70) karya; Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Munajjid ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar