pertama, sebagai gugatan.
Kedua, untuk mencari bimbingan. Kalau pertanyaan
itu dilontarkan dalam rangka menggugat, jelas itu menunjukkan kebodohan si
penanya. Karena hikmah Allah itu terlalu agung untuk dapat dicapai oleh akal
manusia. Allah berfirman:
"Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh.
Katakanlah:"Roh itu termasuk urusan Rabb-ku, dan tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan sedikit"" (Al-Israa
: 85)
Ruh
yang berada dalam tubuh kita sendiri, yang merupakan materi kehidupan kita,
itupun tidak kita ketahui. Para Ahli Logika, Ahli Filsafat dan Ahli Kalam tidak
mampu memberikan definisi dan penjelasan substansial dari ruh tersebut. Kalau
ruh yang merupakan ciptaan Allah terdekat dengan kita saja tidak kita ketahui
kecuali sebatas yang dijelaskan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, apalagi dengan segala hal yang tersembunyi di
balik itu?
Allah berfirman:
Allah berfirman:
"Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh.
Katakanlah bahwa ruh itu termasuk urusan Rabb-ku, dan tidaklah kalian diberikan
pengetahuan tentang ruh itu melainkan sedikit saja.."
Di
balik itu, apa yang tersembunyi? Allah itu lebih bijaksana, lebih mulia, lebih
agung dan lebih memiliki kekuasaan. Maka hendaknya kita pasrah
sepasrah-pasrahnya terhadap segala takdir-Nya; takdir hukum alam maupun
kodtrat-Nya. Karena kita memang tidak akan mampu memahami batas dari
kebijaksanaan-Nya.
Oleh
sebab itu, ditinjau dari sisi ini, maka jawaban pertanyaan tersebut di atas
adalah: Allah itu lebih bijaksana, lebih mampu dan lebih agung adanya.
Adapun kemungkinan kedua adalah pertanyaan yang berbentuk meminta penjelasan.
Adapun kemungkinan kedua adalah pertanyaan yang berbentuk meminta penjelasan.
Kepada
si penanya kita katakan: Seorang mukmin pasti mendapatkan cobaan. Dan cobaan
Allah yang terlihat mengganggu dirinya itu pada dasarnya memiliki dua
keuntungan besar:
Keuntungan pertama,
menguji keimanan si mukmin tersebut. Apakah imannya teguh, atau mudah
bergoncang. Mukmin yang tulus imannya akan tabah menghadapi takdir dan
ketentuan Allah. Ia akan mengharap-harap pahala dari takdir tersebut, sehingga
ujian itu menjadi ringan ia rasakan.
Dikisahkan
bahwa ada seorang Ahli Ibadah wanita yang diberi cobaan dengan jarinya yang
terluka atau buntung, namun ia tidak sedikitpun mengeluh, dan tidak tampak
kekecewaan di wajahnya.
Ada
orang yang bertanya kepadanya tentang sikapnya itu, maka ia menjawab:
"Manisnya pahala cobaan ini membuatku lupa akan pahitnya menahan kesabaran
dalam menghadapinya."
Seorang
mukmin memang selalu mengharap pahala dari Allah dan bersikap pasrah kepada-Nya
dengan sedalam-dalamnya. Itu adalah satu keuntungan.
Keuntungan kedua,
bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta'ala amat memuji orang-orang yang tabah dan
memberitahukan bahwa Dia selalu bersama mereka, Dia akan memberikan pahala
sempurna kepada mereka tanpa batas.
Ketabahan
adalah satu tingkat yang tinggi, yang hanya dapat dicapai dengan bersabar
menghadapi berbagai cobaan. Bila seseorang mampu bersabar, maka ia akan
memperoleh derajat tinggi tersebut yang mengandung pahala besar tersebut.
Allah
menguji kaum mukminin dengan berbagai cobaan berat agar mereka memperoleh
pahala bagi orang-orang bersabar tersebut. Oleh sebab itu, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai orang yang paling beriman dan bertakwa
serta paling takut kepada Allah juga merasakan sengsara sebagaimana orang
biasa.
Beliau
juga merasakan beratnya sakaratul maut. Semua itu diperuntukkan agar beliau
mendapatkan pahala kesabaran secara maksimal. Karena beliau adalah orang yang paling
bersabar.
Dengan
penjelasan ini semua, menjadi jelas bagi kita hikmah kenapa Allah memberi
cobaan kepada seorang mukmin dengan berbagai musibah tersebut. Adapun kenapa
Allah memberikan kesehatan dan rezeki kepada para pelaku maksiat, orang-orang
fasik dan pembuat keonaran, serta melapangkan jalan buat mereka, maka yang
demikian itu adalah istidraj (semacam tipuan) dari Allah kepada mereka hingga
mereka terlena.
Diriwayatkan
dengan shahih bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Dunia
itu adalah penjara bagi seorang mukmin dan Surga bagi orang kafir." Mereka
memperoleh berbagai kenikmatan sebagai kenikmatan yang diberikan dalam
kehidupan dunia mereka saja. Sementara di Hari Kiamat nanti mereka akan
memperoleh ganjaran dari perbuatan mereka. Allah berfirman:
"Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir
dihadapkan ke Neraka (kepada mereka dikatakan): "Kamu telah menghabiskan
rezkimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah
bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang
menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan
kamu telah fasik"..." (Al-Ahqaaf : 20)
Wal
hasil, bahwa dunia ini adalah milik orang-orang kafir. Di dunia ini mereka di
"emong" dengan kenikmatan. Dan ketika mereka berpindah ke negeri
Akhirat dari kehidupan dunia di mana mereka mendapatkan berbagai kenikmatan
tersebut, mereka akan mendapatkan siksa.
Siksa
itu menjadi lebih berat buat mereka karena mereka mendapatkannya sebagai
balasan dan ganjaran. Karena dengan hilangnya kenikmatan dan kesejahteraan yang
selama ini mereka senangi di dunia.
Ada
hikmah ketika yang bisa kita tambahkan di sini berkaitan dengan gangguan dan
penyakit yang diderita seorang mukmin. Ketika seorang mukmin berpindahan dari
negeri tempat ia melakukan kebajikan di dunia ini, berarti ia berpindah dari
segala hal yang menyakiti dan mengganggu dirinya menuju segala kemudahan dan
kegembiraan. Sehingga kegembiraan tersebut yang sebelumnya sudah didahului oleh
berbagai kenikmatan dunia, menjadi berlipatganda. Karena ia berhasil memperoleh
kenikmatan setelah segala musibah dan rasa sakit yang dialaminya hilang.
Dari fatwa Syaikh
Muhammad Al-Utsaimin -Rahimahullah-- dalam kitab Fatawa Al-Islamiyyah I : 83
Tidak ada komentar:
Posting Komentar