Nikah mut’ah adalah suatu ikatan pernikahan
yang dibatasi oleh waktu tertentu. Artinya jika waktu yang disepakati telah
habis maka secara otomatis ikatan tersebut terputus tanpa ada lafadz talaq. Ikatan
tersebut tidak mewajibkan bagi laki-laki untuk memberi nafkah dan tempat
tinggal dan tidak ada saling mewarisi jika salah satunya meninggal sebelum
selesai masa kotrak. Atau dengan bahasa sederhananya adalah nikah mut’ah adalah
kawin kontrak.
Rukun nikah mut’ah menurut syi’ah adalah:
1.
Lafadz (ungkapan untuk menikahinya secara mut’ah)
2.
Wanita
3.
Mahar / mas kawin
4.
Tempo / batasan waktu
Mereka tidak mensyaratkan adanya seorang wali dan juga
skasi.
Keistimewaan Nikah Mut’ah Menurut Syi’ah
Nikah mut’ah memiliki keistimewaan yang besar
dalam aqidah Syi’ah Rafidhah. Dikatakan dalam sumber mereka bahwa ash-Shadiq
berkata: “Mut’ah adalah bagian dari agamaku, agama nenek moyangku. Baangsiapa
yang mengamalkannya berarti ia mengingkari agama kami, bahkan ia bisa dianggab
beragama selain agama kami. Anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan mut’ah
lebih utama daripada anak yang dilahirkan melalui istri yang tetap. Orang yang
mengingkari nikah mut’ah adalah KAFIR dan MURTAD.” (Mulla Fathullah al-Kasyani,
Minhajus Shadiqin, 2/495)
Dalam kitab yang lain disebutkan, dari
Abdullah bin Sinan, dari Abu Abdullah ia berkata: “Sesungguhnya Allah telah
mengharamkan atas orang-orang Syi’ah segala minuman yang memabukkan, dan
menggantikan bagi mereka nikah mut’ah. (Man Laa Yahdhuruhul Faqih,
oleh Al-Qummi hal. 330)
Mereka juga menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wasallam bersabda: “Barangsiap melakukan mut’ah sekali, maka dia telah
merdeka dari neraka sepertiga jiwanya. Barangsiap melakukannya dua kali, maka
dua pertiga jiwanya telah terbebas dari neraka. Barangsiapa melakukannya tiga
kali, maka telah sempurna terbebas dari neraka.” ((Mulla Fathullah al-Kasyani,
Minhajus Shadiqin).
Dalam kitab yang sama dikatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa
melakukan nikah mut’ah sekali, maka dia telah mendapatkan derajat seperti
Husain. Barangsiapa melakukannya dua kali, maka derajatnya seperti Hasan. Baransiapa
melakukannya tiga kali, maka derajatnya seperti Ali Bin Abi Tholib. Barangsiapa
bermut’ah empat kali, maka derajatnya seperti derajatku.” (Mulla Fathullah
al-Kasyani, Minhajus Shadiqin 2/492).
Adakah Batasan dalam bermut’ah??
Syi’ah Rafidhah tidak membatasi dengan jumlah
tertentu dalam bermut’ah. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab mereka,
dari Zurarah, ia bertanya kepada Abu Abdullah: “Berapa jumlah wanita yang boleh
dimut’ah, apakah hanya empat wanita?” Ia menjawab: “Nikahilah (secara mut’ah)
seribu wanita, karena mereka adalah wanita-wanita sewaan.”
Dari Muhammad bin Muslim dari Abu Ja’far, ia
berpendapat tentang mut’ah, bahwa ia tidak hanya terbatas pada empat wanita,
karena mereka tak perlu dicerai, tidak diwarisi, karena mereka adalah wanita
sewaan. (Al-Furu’ minal Kaafi, 5/451, at-Tahdzib, 2/188).
Dari penjelasan di atas, jelaslah bagi kita
bahwa memang Syi’ah benar-benar agama hawa nafsu bukan agama Islam.
Sumber: Buku “Kesesatan Aqidah Syi’ah,
oleh Syaikh Abdullah bin Muhammad as-Salafi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar