Jika kita disakiti dan dianiaya oleh seseorang lalu ia bertobat,
mampukah kita memaafkannnya? Padahal ia juga yang telah sadis membunuh
saudara-saudara kita? Mampukah kita menerimanya seperti penerimaan Rasulullah
saw terhadap Hindun binti ‘Utbah? Semoga kita mampu memaafkan seperti apa yang
dilakukan Rasulullah saw terhadap Hindun yang pernah berbuat jahat karena telah membunuh paman Rasulullah
saw, yaitu Hamzah bin ‘Abdul Muththallib .
Di masa Jahiliyyah, Hindun binti ‘Utbah terkenal dengan kesombongan
dan keangkuhannya. Hindun menikah dengan Abu Sufyan bin Harb. Selama kehidupan
rumah tangganya dengan Abu Sufyan, Hindun selalu antusias untuk melakukan
hal-hal yang terpuji, jauh lebih baik daripada sekadar melampiaskan kebutuhan
suami istri.
Akan tetapi, Hindun adalah tipe wanita yang sangat ambisius dan
memandang dirinya memang layak memiliki sifat tersebut. Salah satu buktinya
adalah ketika beberapa orang melihat ada tanda-tanda keunggulan pada diri
anaknya (Mu’awiyah) seraya berkata padanya:
“Jika dia (Mu’awiyah) hidup sampai besar, tentu dia akan menjadi
pemimpin kaumnya.”
Ternyata Hindun tidak merasa heran sekali dengan pujian itu, bahkan
dengan sombongnya dia menimpalinya dengan berkata:
“Dia akan celaka kalau hanya menjadi pemimpin kaumnya sendiri.”
Ketika terjadi perang Badar Kubra, ayah Hindun, pamannya yang
bernama Syaibah, dan saudaranya yang bernama Al-Walid terbunuh. Hindun merasa
sangat terpukul dan meratapi kepergian mereka dengan ratapan yang sangat
memilukan. Suatu hari dia berada di pasar ‘Ukazh dan bertemu dengan Khansa’.
Khansa’ lalu bertanya kepadanya.
“Siapakah yang kamu tangisi, wahai Hindun?”
“Aku menangisi matinya sang pemimpin dua lembah dan pelindungnya
dari setiap agressor yang ingin merampasnya. Yakni Bapakku, seorang yang
terdepan dalam berbuat kebaikan. Begitu juga Syaibah dan seorang pejuang
pemberani, Walid. Padahal mereka semua adalah orang mulia dari keluarga mulia
dan mati saat kemuliaan mereka sedang Berjaya.”
Saat terjadi perang Uhud, Hindun menempati posisi penting dalam
barisan tentara kaum musyrik Quraisy yang dipimpin oleh suaminya, Abu Sufyan.
Hindun pada saat itu dipercaya menjadi promoter dalam mengobarkan semangat
perang kepada pasukan laki-laki dan menjadi pemimpin barisan kaum wanita.
Dalam perang Uhud inilah Hindun menggoreskan lembaran hitam dalam
sejarah hidupnya yang tak mungkin dilupakannya. Lembaran hitam itu adalah
perbuatannya terhadap sang panglima sekaligus Bapak para syuhada’, Hamzah bin
‘Abdul Muththallib.
Hindun menyuruh budaknya, Wahsyi bin Harb untuk membalaskan
dendamnya dengan membunuh Hamzah. Sebagai uapahnya dia akan dimerdekakannya.
Dengan api dendam yang membara dalam dirinya, Hindun berkata:
“Pergilah dan obatilah dendamku!”
Ucapan tersebut tidaklah aneh, karena memang keluar dari lisan
Hindun yang sedang dimabuk dendam. Yang sangat aneh dan mengerikan adalah apa
yang dia lakukan terhadap jasad pahlawan syahid (Hamzah) –yang menunjukkan
pengkhianatannya yang sangat memalukan—yang mana dia memotong hidung dan kedua
telinga Hamzah serta membelah perutnya, lalu dia keluarkan jantungnya, kemudian
dia kunyah namun tidak sanggup dia menelannya, lalu ia muntahkan. Selanjutnya,
dia berteriak dengan lantang:
“Kami telah berhasil membalas kalian atas kekalahan kami di perang
Badar, dalam peperangan setelah peperangan yang hebat. Kematian ‘Utbah tak
mungkin membuatku bersabar, begitu juga kematian saudaraku dan pamanku. Kini
lukaku telah terobati dan nadzarku telah terbayar. Wahai Wahsyi, engkau telah
mengobati dendam di dadaku. Terima kasih wahai Wahsyi atas nama umurku
selamanya sampai tulang belulangku hancur dalam kubur.”
Demikianlah Hindun akhirnya dia dijuluki sebagai “wanita pemakan
jantung”, suatu julukan yang menyakitkan hatinya. Bahkan sampai dia masuk
Islam, julukan itu tetap menempel pada dirinya.
Hindun tetap dalam kesombongan dan keangkuhannya sampai tiba
saatnya dia dimuliakan oleh kalimah Allah, yakni saat tiba sebuah kemenangan
yang nyata (Fat-hu Makkah). Kehendak Allah SWT telah menjadikan pahlawan wanita
jahiliyyah ini menjadi pahlawan wanita Islam.
Pada malam terjadinya Fat-hu Makkah, Abu Sufyan bin Harb kembali ke
Makkah setelah baru saja mengahadap Rasulullah saw dan menyatakan keislamannya.
Sesampainya di Makkah dia berseru:
“Wahai segenap kaum Quraisy, ketahuilah bahwa aku telah masuk
Islam, maka masuk Islamlah kalian semua! Sesungguhnya Muhammad telah datang
kepada kalian dengan membawa pasukan yang sekali-kali kalian tak akan sanggup
menghadapinya, maka barang siapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan, dia akan aman.”
Melihat kejadian itu, Hindun segera bangkit dan menarik kumis Abu
Sufyan dan berseru berulang-ulang:
“Engkau adalah pemimpin kaum terburuk. Wahai penduduk Makkah,
bunuhlah orang yang tak berguna dan seburuk-buruk pemimpin kaum ini!”
Abu Sufyan menjawab:
“Celakalah kalian semua! Janganlah kalian tertipu oleh omongan
wanita ini. Sungguh, sebentar lagi Muhammad akan tiba dengan membawa pasukan
yang sekali-kali kalian tak akan sanggup menghadapinya. Karenanya, barang siapa
yang masuk ke rumah Abu Sufyan, dia akan aman.”
Kaum Quraisy menjawab:
“Semoga Allah membinasakanmu, kami sekali-kali tidak membutuhkan
rumahmu.”
Abu Sufyan meneruskan ucapannya:
“Barang siapa yang mengunci pintu rumahnya, dia akan aman dan
barang siapa yang masuk ke dalam masjid, dia akan aman.”
Orang-orang pun lalu berhamburan, sebagian ada yang pulang ke rumah
dan sebagian ada yang masuk ke dalam masjid.
Pada hari kedua setelah Fat-hu Makkah, Hindun berkata kepada
suaminya:
“Sesungguhnya aku ingin menjadi pengikut Muhammad. Bawalah aku menghadap
kepadanya!”
“Sesungguhnya kemarin aku melihatmu sangat benci dengan ucapan
ini.” Jawab Abu Sufyan.
“Demi Allah, sungguh aku belum pernah melihat Allah disembah dengan
sebenar-benarnya di masjid ini selain pada malam ini. Demi Allah! Mereka tidak
bermalam di dalamnya, melainkan dengan mengerjakan shalat seraya berdiri,
ruku’, dan sujud.”
“Sesungguhnya engkau bisa mengerjakan apa yang hendak kau kerjakan.
Pergilah bersama salah seorang kaummu untuk menemanimu.”
Hindun pun pergi kepada ‘Utsman bin ‘Affan. ‘Utsman lantas pergi
membawa Hindun dan beberapa orang wanita lainnya menghadap Rasulullah saw.
Ketika itu Hindun menghadap Rasulullah saw dengan muka tertutup cadar dengan
maksud agar tidak dikenal siapa dirinya. Dia berbuat seperti itu karena merasa malu
dengan perbuatannya pada masa silam kepada Hamzah. Dia takut kalau-kalau
Rasulullah saw akan menghukumnya atas perbuatannya itu. Dalam majelis itu dia
berkata:
“Wahai Rasulullah, segala puji bagi Allah yang telah memenangkan
agama yang telah dipilih-Nya sendiri, mudah-mudahan aku mendapat manfaat dari
kasih sayangmu. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku adalah seorang wanita yang
telah beriman kepada Allah dan kepada Rasul-Nya.”
Selanjutnya, dia membuka cadarnya dan berkata: “Aku adalah Hindun
binti ‘Utbah.”
Rasulullah saw menjawab:
“Selamat datang untukmu!”
“Demi Allah, dahulu tidak ada penghuni rumah di muka bumi ini yang
lebih kuinginkan untuk dihinakan selain penghuni rumahmu, tetapi sekarang tidak
ada penghuni rumah di muka bumi ini yang lebih aku sukai untuk dimuliakan
selain penghuni rumahmu.”
Rasulullah saw lalu menjawabnya, membacakan ayat Al-Quran dan
membai’at Hindun beserta wanita-wanita lain yang bersamanya. Selanjutnya,
Hindun bertanya:
“Wahai Rasulullah, apakah kami tidak perlu berjabat tangan
denganmu?”
Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita. Sesungguhnya
perkataanku kepada 100 wanita sama seperti perkataanku kepada 1 orang wanita.”
Rasulullah saw pun membai’at kaum wanita, termasuk Hindun dengan
mengatakan:
“Kalian berbai’at kepadaku bahwa kalian tidak akan mempersekutukan
sesuatu pun dengan Allah.”
Hindun menjawab:
“Demi Allah, sesungguhnya engkau boleh mengambil sesuatu dari kami
sebagaimana yang engkau ambil dari kaum pria dan kami benar-benar akan memberikannya
kepadamu.”
Nabi saw meneruskan perkataannya:
“Dan kalian tidak akan mencuri.”
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang laki-laki
kikir, apakah aku boleh mengambil harta makanan yang ia miliki tanpa izinnya?”
sahut Hindun.
Rasulullah saw lalu mengizinkannya untuk mengambil kurma basah dan
tidak mengizinkannya untuk mengambil kurma yang telah dikeringkan.
“Dan kalian tidak akan berzina”
“Apakah mungkin wanita merdeka berbuat zina?” sela Hindun.
Nabi saw melanjutkan pembai’atannya.
“Dan kalian tidak akan membunuh anak-anak kalian.”
“Dulu kami telah mengasuh anak-anak kami pada waktu mereka kecil,
tetapi setelah mereka besar engaku bunuh mereka pada waktu perang Badar. Namun
bagaimanapun juga, engkau dan merekalah yang lebih mengerti permasalahannya.”
‘Umar tertawa sampai terbahak-bahak.
Rasulullah saw melanjutkan pembai’atan sampai selesai.
Setelah menjadi muslimah, Hindun selalu berusaha memperdalam
keimanannya. Keimanannya itulah yang kemudian menuntunnya untuk turut berjihad
bersama kaum muslim lainnya. Hindun telah meriwayatkan beberapa hadits Nabi,
sehingga anaknya, Mu’awiyah bin Abu Sufyan dan juga Ummul Mukminin, ‘Aisyah,
pernah meriwayatkan beberapa Hadits Nabi saw darinya.
Pada tahun ke 14 Hijriah, Hindun binti ‘Utbah wafat. Dia adalah
wanita yang digambarkan oleh putranya sendiri, Mu’awiyah:
“Dia adalah wanita yang pada zaman jahiliyyah memiliki keagungan
dan pada masa Islam memiliki kemuliaan yang baik.”
Oleh: Ummu ‘Umair
Sumber: Buku “Shahabat
wanita utama Rasulullah saw dan keteladanan mereka” karya Mahmud
Mahdi Al-Istambuli, Musthafa Abun Nashri Asy-Syilbi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar