Syarat pertama: Hewan kurban milik orang yang berkurban (milik pribadi),
dengan kepemilikan sesuai dengan syara’.
Oleh sebab itu, kurban tidak sah jika
menggunakan hewan hasil curian atau dimiliknya dengan akad yang rusak atau
dibeli dengan uang yang haram, seperti uang riba dan selainnya.
Syarat kedua: Jenis hewan yang dijadikan kurban harus
sesuai dengan ketetapan syari’at, yaitu: unta, sapi atau kambing. Itulah yang
dimaksud dengan bahimatul an-‘am (binatang ternak) dalam surat al-Hajj:
34.
Syarat ketiga: Hewan ternak tersebut sudah mencapai umur
yang cukup menurut syara’, yaitu:
a. Untuk domba adalah jadza’ah (umur 6 bulan, masuk bulan ke 7).
b. Untuk kambing adalah tsany (umur satu tahun, masuk tahun kedua).
c. Untuk sapi; dua tahun masuk ketiga.
d. Untuk untu; lima tahun, masuk keenam.
Syarat keempat: Hewan tersebut tidak boleh cacat, dengan
cacat yang dilarang oleh syara’. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu
alaihi wasallam berikut:
“Empat hewan tidak boleh dijadikan sebagai
hewan kurban: 1) hewan yang cacat matanya dengan cacat yang jelas, 2) hewan
yang sakit dan jelas sakitnya, 3) hewan yang pincang yang jelas pincangnya dan
4) hewan yang kurus kering, yang tidak dapat digemukkan lagi.” (HR. Abu Dawud
dan lain-lain, dishahihkan oleh Al-Albani).
Adapun cacat yang lebih parah dari empat hal
di atas, seperti tidak bisa melihat, terpotong salah satu kakinya, menderita
penyakit yang mematikan dan lain-lain yang seurupa adalah dikiaskan kepada
empat hal tersebut dalam hadits, karena cacat ini lebih utama untuk dijadikan
alasan tidak memadainya untuk dijadikan sebagai hewan kurban.
Cacat yang tidak disukai (makruh) pada hewan
kurban
a. Terpotong setengah telinganya atau lebih.
b. Daun telinganya terbelah atau sobek melebar dari depan.
c. Daun telinganya terbelah atau sobek melebar dari belakang.
d. Daun telinganya terbelah atau sobek memanjang.
e. Daun telinganya bolong.
f. Daun telinganya buntung hingga lubang telingan telihat.
g. Tanduknya terlepas dari pangkalnya.
h. Yang tidak terlalu kurus.
Untuk berapa orang kah satu kambing, sapi dan
unta ?
Jika seseorang berkurban dengan seekor domba
atau kambing, maka satu itu sudah cukup untuk kurbannya dan keluarganya. Hal
ini sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Abu Musa ketika beliau ditanya
tentang kurban di zaman Nabi
. Ia berkata: “Seseorang berkurban dengan seekor domba
(atau kambing) untuk dirinya dan keluarganya. Mereka makan darinya dan memberi
makan orang lain...” (HR. At-Tirmidzi).

Adapun unta dan sapi cukup untuk tujuh orang.
Berdasarkan hadits Jabir bin Abdillah
, ia berkata: “Kami berkurban bersama Rasulullah
pada tahun
Hudaibiyah dengan seekor unta untuk tujuh orang dan sapi untuk tujuh orang. “
(HR. Muslim).


Pembagian daging kurban
Dianjurkan bagi orang yang berkurban untuk
memakan sebagian daging kurbannya, menyedekahkan yang lainnya. Hal ini berdaasarkan
firman Allah swt: “Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi)
berikanlah untuk dimakan oleh orang-orang sengsara dan fakir.” (QS.Al-Hajj:
28).
Dan berdasarkan sabda Nabi
: “Makanlah, simpanlah dan sedekahkanlah.” Dalam
lafadz lain, “Makanlah dan berbekallah.” (HR. Muslim).

Banyak ulama yang menganjurkan agar daging
kurban dibagi tiga bagian; sepertiga untuk disimpan, sepertiga untuk
disedekahkan an sepertiga lagi untuk dimakan.
Hukum menjual sesuatu dari kurban
Tidak boleh menjual sesuatu dari hewan kurban, baik
kulitnya maupun dagingnya. Jika seseorang disewa untuk menyembelih kurbannya,
maka orang yang menyembelih tersebut tidak boleh diberi upah dari kurban
tersebut. hal ini berdasarkan hadits ‘Ali
, ia berkata: “Rasulullah
memerintahkan aku untuk mengurus daging
kurban, mensedekahkan dagingnya dan juga kulitnya. An aku diperintahkan untuk
tidak memberi upa kepada penyembelih yang diambil dari sebagian kurban.” Ali berkata, “Kami memberikan upah
tersebut dari uang kami sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim).


Wallahu A’lam
Oleh: Abu Umair, Lc
Referensi:
1. Kitab “Shahih fiqh as-Sunnah”, karya: Abu Malik kamal.
2. Buku “Fiqh as-Sunnah”, karya, Sayyid Saabiq
3. Buku saku “Tuntunan Praktis & Syar’i Berkurban”, karya, Abu
Muhammad Ibnu Shalih bin Hasbullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar