Sahabat elmajalis. Apakah yang harus dilakukan oleh seorang suami yang ternyata setelah dia berhubungan intim dengan istrinya diketahui atau diberitahu bahwa istrinya sudah tidak perawan lagi..? Bacalah paparan berikut sampai selesai..!
=======================
Soal: Saya
telah menikah dengan seorang wanita yang saya meyakininya bahwa dia masih
perawan, namun ketika saya telah berhubungan dengannya ternyata dia sudah tidak
gadis lagi. Maka saya menceraikannya dan mengambil mahar yang telah saya
berikan kepada keluarga mereka. Patut diketahui sesungguhnya wanita yang saya
nikahi mengakui bahwa dia sudah tidak gadis lagi pada malam di mana saya
berhubungan dengannya dan dia mengatakan bahwa kedua orang tuanya telah
mengetahui akan hal tersebut dan mereka dengan sengaja ingin mengelabui saya.
Perempuan ini juga mengaku bahwa yang merampas kehormatannya adalah suami dari
bibinya (adik perempuan ibunya) padahal dialah yang memediasi antara saya dan
keluarga mereka. Apa yang harus saya lakukan dalam hal ini?
Jawab:
Alhamdulillah
...
Pertama
:
Tidak
diragukan lagi sesungguhnya perbuatan zina merupakan kekejian tebesar yang
syariat Islam datang dan menganjurkan untuk menghindarinya. Sungguh syariat
Allah Ta’ala telah menurunkan hukum-hukum yang tidak sedikit jumlahnya agar
seseorang tidak sampai melakukan kekejian tersebut. Diantaranya adalah
mengharamkan melihat wanita yang bukan mahram, menyentuh mereka, berkhalwat
bersama mereka dan juga diharamkan bagi seorang wanita bepergian sendirian
tanpa disertai mahramnya dan lain sebagainya, yang bertujuan memutuskan jalan
bagi setan yang menggoda kaum muslimin agar mendekati kekejian tersebut.
Kemudian Allah Ta’ala menetapkan syari’at yang agung bagi pelaku kekejian ini.
Maka ditetapkanlah hukum seratus cambukan bagi seorang pezina laki-laki atau
perempuan yang belum pernah menikah, dan hukuman rajam dengan batu sampai
meninggal dunia bagi laki-laki maupun perempuan yang sudah menikah.
Kedua
:
Adapun
khusus bagi seorang istri dan keluarganya yang menutup-nutupi akan hilangnya
keperawanannya, hal demikian tersebut tidak menyalahi syari’at, karena Allah
Ta’ala lebih menyukai orang yang merahasiakan aib dan akan memberikan
balasan bagi siapa saja yang telah menutupi aib. Seorang istri tidak harus
memberitahukan suaminya tentang hilangnya keperawanannya meskipun lenyapnya
keperawanan tersebut karena terjatuh, atau karena haid yang berat atau karena
perbuatan zina yang dia alami. Syekh Bin Baaz Rahimahullah
mengungkapkan tentang masalah ini. Di bawah ini sebagian fatwa Ulama Allajnah
Addaaimah :
1-
Ulama Al-lajnah Ad-daaimah ditanya: Seorang muslimah dimasa kecilnya mengalami
kecelakaan yang mengakibatkan hilangnya lapisan keperawanannya, dan dia telah
melangsungkan akad nikah dengan suaminya akan tetapi belum melakukan hubungan
suami-istri. Kejadian lain yang sama kasusnya sebagaimana di atas dan saat ini
muslimah tersebut sedang dihadapkan pada pinangan beberapa ikhwah yang hanif
lagi komitmen terhadap syariat dan mereka berkeinginan untuk menikahinya. Kedua
muslimah tersebut saat ini sedang dirundung kegalauan dengan perkara yang
sedang mereka hadapi. Manakah yang lebih utama dilakukan bagi muslimah yang
sudah terlanjur melangsungkan akad nikah ini, apakah dia harus memberitahukan suaminya
kejadian tersebut sebelum berhubungan intim ataukah lebih baik dia
merahasiakannya? Dan bagi muslimah yang belum melangsungkan pernikahan, apakah
dia tetap merahasiakan perkara tersebut karena khawatir tersebar keburukannya
dan prasangka buruk orang-orang kepadanya meskipun hal ini terjadi pada masa
kecilnya dimana pada saat itu dia belum akil balig, ataukah hal ini termasuk
perbuatan curang dan berkhianat, apakah perlu memberitahukan kepada lelaki yang
datang meminang dan bertujuan menikahinya?
Mereka
para Ulama menjawab: Secara syari’at bukanlah sebuah dosa apabila pihak wanita
merahasiakan hal tersebut. Namun, ketika suaminya menanyakannya setelah
berhubungan badan maka hendaklah dia menyampaikan yang sebenarnya. (Syekh Abdul
Aziz Bin Baaz dan Syekh Abdur Razzaq ‘Afifi, Fatawa Allajnah Addaaimah, 5/19)
2-
Syekh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullah mengungkapkan: Jika dia mengakui
bahwa kegadisannya telah lenyap dalam kejadian yang bukan merupakan perzinaan,
maka tidak ada dosa baginya, atau bahkan meskipun hilangnya kegadisan tersebut
karena perbuatan keji seperti pelecehan seksual atau diperkosa, maka
sesungguhnya hal ini tidak merugikan pihak suami. Jika memang setelah kejadian
tersebut dia telah kedapatan haid seperti sediakala, atau karena perzinaan dan
dia telah menyesal serta bertaubat. Karena bisa jadi hal ini dia lakukan
saat belum paham tentang syari’at lalu setelah itu dia menyesal dan
bertaubat. Maka sudah tentu hal inipun tidak merugikan pihak suami sama sekali,
dan tidak seharusnya suami menyebarluaskan kejadian tersebut bahkan sepatutnya
dia menutupi aib istrinya, jika menurut dugaannya sang istri jujur dalam
mengutarakannya dengan penuh kejujuran dan menampakkan keistiqomahannya, maka
dia (suami) berkewajiban mempertahankan pernikahannya. Namun jika sudah tidak
ada lagi kecocokan maka pihak suami boleh menceraikannya dengan tetap menutupi
aibnya dan tidak menyebarluaskan hal-hal yang menyebabkan fitnah dan
keburukan.” (Fatawa Syekh Abdul Aziz bin Baaz, 286-187/20)
Ketiga
:
Jika
seorang suami mensyaratkan agar istrinya masih gadis lalu dia mendapatinya
tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan, maka dia berhak menuntut Fasakh atau
pembatalan pernikahan. Bila hal demikian diketahuinya sebelum melakukan
hubungan suami-istri maka tidak ada sedikitpun mahar untuk istri. Namun jika
dia mengetahuinya setelah melakukan hubungan suami-istri dan pihak istrilah
yang mengelabuinya, maka dia berkewajiban mengembalikan semua maharnya. Apabila
wali dari istrinya atau orang lain yang mengelabuinya, maka mahar wajib
dibayarkan kepada sang suami.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengungkapkan: Jika salah
seorang dari suami maupun istri mensyaratkan kepada pasangannya sifat-sifat
tertentu, seperti kesempurnaan, kecantikan, ketampanan, kegadisan dan lain
sebagainya maka yang demikian itu bisa dibenarkan. Dan yang memberikan syarat
berhak membatalkan pernikahan apabila tidak sesuai dengan kriteria syarat yang
diberikan. Ini merupakan salah satu riwayat yang paling benar dari Ahmad, dan
salah satu pendapat yang paling benar dari As Syafi’i, dan pendapat dari mazhab
Malik. Adapun pendapat yang lain menyebutkan, tidak berhak menuntut pembatalan
pernikahan, kecuali jika syaratnya masalah merdeka dan kesamaan dalam
agama.” (Majmu’ Fatawa, 29/175)
Ibnul
Qayyim rahimahullah berkata: Apabila mensyaratkan kesempurnaan fisik
atau kecantikan, lalu ia mendapatinya buruk rupa, atau mensyaratkan masih muda
belia, padahal kenyataannya sudah tua dan uban menyala di rambutnya, atau
mensyaratkan berkulit putih, lalu kenyataannya berkulit hitam, atau
mensyaratkan masih gadis, akan tetapi ia telah janda, maka dia (suami) boleh
menuntut fasakh (pembatalan pernikahan) terhadap itu semua.
Jika
suami belum berhubungan intim dengannya (apabila terjadi pembatalan pernikahan),
maka tidak ada mahar bagi istri. Adapun jika sudah behubungan suami-istri maka
istri berhak mendapat mahar yang telah ditentukan dan wali perempuan mendapat
denda apabila memang walinya mengelabui sang suami. Jika istri itu sendiri yang
mengelabuinya maka gugurlah kewajiban membayar mahar untuknya, atau suami bisa
menuntut istrinya dari kedustaan yang telah dilakukannya. Imam Ahmad mengambil
pendapat tersebut dalam salah satu riwayat dari beliau, karena riwayat tersebut
lebih mendekati kias dan lebih sesuai dengan ushul mazhab beliau yaitu tentang
jika suami yang memberikan syarat. (dari kitab “Zaadul Ma’ad”,
5/184-185 )
Syekh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Apabila
kegadisan seorang perempuan hilang karena berhubungan yang halal atau tidak
halal, maka bagaimana hukumnya dalam syari’at Islam jika seorang lelaki
menikahinya dengan menyertakan dua kondisi :
·
Kondisi pertama : Apabila
mensyaratkan kegadisan atau keperawanan.
·
Kondisi kedua
: Apabila tidak mensyaratkan kegadisan atau keperawanan.
Apakah
dia memiliki kewenangan untuk meminta fasakh ataukah tidak?
Lalu
beliau menjawab: Yang sudah sama-sama dimaklumi di kalangan para ulama Fiqih
adalah apabila seseorang menikahi seorang wanita dengan penuh keyakinan bahwa
dia masih perawan, akan tetapi dia tidak menjadikan kegadisan sebagai syarat
utama, maka tidak ada pilihan baginya (tidak memiliki hak membatalkan
pernikahan); disamping karena bisa jadi kegadisan itu hilang sebab kurangnya
kepedulian seorang wanita terhadap dirinya sendiri, atau karena kecelakaan yang
amat kuat sehingga merobek keperawanan, atau disebabkan perzinaan di bawah
tekanan dan paksaan, maka selama kemungkinan-kemungkinan tersebut terjadi ;
tidak ada alasan bagi seorang suami untuk menuntut fasakh dengan pernikahannya
jika ia mendapati istrinya sudah tidak perawan lagi.
Adapun
apabila suami mensyaratkan wajibnya kegadisan sang istri dalam akad nikahnya,
dan ternyata dia mendapatinya sudah tidak perawan lagi, maka dia berhak memilih
untuk menuntut fasakh atau melanjutkan pernikahannya. (Dikutip dari kitab
Liqoaat Albab Al Maftuh, 67/soal no. 13).
Berdasarkan
hal tersebut, jika anda mensyaratkan pada saat akad nikah keharusan sebuah
kegadisan atau keperawanan, bagi anda berhak menuntut kembali mahar yang telah
diberikan, dan anda juga berhak menceraikannya jika memang anda berkehendak
untuk itu dan anda merasa tidak nyaman lagi hidup bersama istri anda. Adapun
jika anda tidak mensyaratkan kegadisan pada saat akad nikah, maka sama sekali
anda tidak berhak untuk menuntut kembali mahar yang telah diberikan. Nasehat
yang diberikan dalam hal ini adalah hendaknya anda tetap hidup bersama istri
anda dan menutupi aibnya jika memang dia telah bertaubat dengan taubat yang
sesungguhnya dan ada indikasi serta kemauan dia telah istiqomah dalam
menjalankan syari’at agama.
Wallahu
A’lam..
Sumber: https://islamqa.info/id/111329
================================
Artikel: www.elmajalis.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar