Bismillah was shalatu was salamu ‘ala
rasulillah, amma ba’du,
Kita akan membahas anggapan yang tersebar hampir di seluruh
lapisan masyarakat, Idul fitri = kembali suci.
Masyarakat, bahkan para tokoh agama, sering mengartikan idul
fitri dengan kembali suci. Mereka mengartikan ‘id dengan makna kembali dan
fitri diartikan suci.
Para khatib seringkali memberi kabar gembira kepada masyarakat
yang telah menyelesaikan ibadah selama ramadhan, bahwa pada saat idul fitri
mereka telah kembali suci, bersih dari semua dosa antara dia dengan Allah.
Kemudian diikuti dengan meminta maaf kepada sesama, tetangga
kanan-kiri. Sehingga usai hari raya, mereka layaknya bayi yang baru dilahirkan,
suci dari semua dosa. Tak lupa sang khatib akan mengkaitkan kejadian ini dengan
nama hari raya ini, idul fitri.
Dia artikan ‘Kembali Suci’. Turunan dari
pemaknaan ini, sebagian masyarakat sering menyebut tanggal 1 syawal dengan
ungkapan ‘hari yang fitri’.
Setidaknya ada 2 kesalahan fatal terkait ceramah khatib di atas,
Pertama, memaknai idul fitri dengan kembali suci. Dan
ini kesalahan bahasa
Kedua, keyakinan bahwa ketika idul fitri, semua muslim
dosanya diampuni.
Mengapa salah? Berikut rincian keterangan masing-masing;
Arti Idul Fitri secara
Bahasa
Idul fitri berasal dari dua kata; id [arab: عيد] dan al-fitri [arab: الفطر].
Id secara bahasa berasal dari kata aada – ya’uudu [arab: عاد – يعود], yang artinya kembali. Hari raya disebut
‘id karena hari raya terjadi secara berulang-ulang, dimeriahkan setiap tahun,
pada waktu yang sama. Ibnul A’rabi mengatakan,
سمي العِيدُ عيداً لأَنه
يعود كل سنة بِفَرَحٍ مُجَدَّد
Hari raya dinamakan id karena berulang setiap tahun dengan
kegembiraan yang baru. (Lisan Al-Arab, 3/315).
Ada juga yang mengatakan, kata id merupakan turunan kata Al-Adah
[arab: العادة], yang artinya
kebiasaan. Karena masyarakat telah menjadikan kegiatan ini menyatu dengan
kebiasaan dan adat mereka. (Tanwir Al-Ainain, hlm. 5).
Selanjutnya kita akan membahas arti kata fitri.
Perlu diberi garis sangat tebal dengan warna mencolok, bahwa fitri
TIDAK sama dengan fitrah. Fitri dan fitrah adalah dua kata yang berbeda. Beda
arti dan penggunaannya. Namun, mengingat cara pengucapannya yang hampir sama,
banyak masyarakat indonesia menyangka bahwa itu dua kata yang sama. Untuk lebih
menunjukkan perbedaannnya, berikut keterangan masing-masing,
Pertama, Kata Fitrah
Kata fitrah Allah sebutkan dalam Al-Quran,
فَأَقِمْ وَجْهَكَ
لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا
تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ
Hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada
peubahan pada fitrah Allah. (QS. Ar-Rum: 30).
Ibnul Jauzi menjelaskan makna fitrah,
الخلقة التي خلق عليها
البشر
“Kondisi awal penciptaan, dimana manusia diciptakan pada kondisi
tersebut.” (Zadul Masir, 3/422).
Dengan demikian, setiap manusia yang dilahirkan, dia dalam keadaan
fitrah. Telah mengenal Allah sebagai sesembahan yang Esa, namun kemudian
mengalami gesekan dengan lingkungannya, sehingga ada yang menganut ajaran
nasrani atau agama lain. Ringkasnya, bahwa makna fitrah adalah keadaan suci
tanpa dosa dan kesalahan.
Kedua, kata Fitri
Kata fitri berasal dari kata afthara – yufthiru [arab: أفطر – يفطر], yang artinya berbuka atau tidak lagi
berpuasa. Disebut idul fitri, karena hari raya ini dimeriahkan bersamaan dengan
keadaan kaum muslimin yang tidak lagi berpuasa ramadhan.
Terdapat banyak dalil yang menunjukkan hal ini, diantaranya
1. Hadis tentang anjuran untuk menyegerahkan berbuka,
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لا يزال الدين ظاهراً، ما
عجّل النّاس الفطر؛ لأنّ اليهود والنّصارى يؤخّرون
“Agama Islam akan senantiasa menang, selama masyarakat (Islam)
menyegerakan berbuka. Karena orang yahudi dan nasrani mengakhirkan waktu
berbuka.” (HR. Ahmad 9810, Abu Daud 2353, Ibn Hibban 3509 dan statusnya hadia
hasan).
Dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تزال أمَّتي على
سُنَّتي ما لم تنتظر بفطرها النّجوم
“Umatku akan senantiasa berada di atas sunahku, selama mereka
tidak menunggu waktu berbuka dengan terbitnya bintang.” (HR. Ibn Khuzaimah
dalam Shahihnya 3/275, dan sanadnya shahih).
Kata Al-Fithr pada hadis di atas maknanya adalah berbuka, bukan
suci. Makna hadis ini menjadi aneh, jika kata Al-Fithr kita artikan suci.
“Umatku akan senantiasa berada di atas sunahku, selama mereka
tidak menunggu waktu berSUCI dengan terbitnya bintang”
Dan tentu saja, ini keluar dari konteks hadis.
2. Hadis tentang cara penentuan tanggal 1 ramadhan dan 1 syawal
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّوْمُ يَوْمَ
تَصُومُونَ، وَالفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ
“Hari mulai berpuasa (tanggal 1 ramadhan) adalah hari di mana
kalian semua berpuasa. Hari berbuka (hari raya 1 syawal) adalah hari di mana
kalian semua berbuka.” (HR. Turmudzi 697, Abu Daud 2324, dan dishahihkan
Al-Albani).
Makna hadis di atas akan menjadi aneh, ketika kita artikan
Al-Fithr dengan suci.
“Hari suci adalah hari
dimana kalian semua bersuci”.dan semacam ini tidak ada dalam islam.
Karena itu sungguh aneh ketika fitri diartikan suci, yang sama
sekali tidak dikenal dalam bahasa arab.
Suci Seperti Bayi?
Selanjutnya kita bahas konsekuensi dari kesalahan mengartikan idul
fitri. Karena anggapan bahwa idul fitri = kembali suci, banyak orang keyakinan
bahwa ketika idul fitri, semua orang yang menjalankan puasa ramadhan, semua
dosanya diampuni dan menjadi suci.
Keyakinan semacam ini termasuk kekeliruan yang sangat fatal.
Setidaknya ada 2 alasan untuk menunjukkan salahnya keyakinan ini,
Pertama, keyakinan bahwa semua orang yang menjalankan puasa
ramadhan, dosanya diampuni dan menjadi suci, sama dengan memastikan bahwa
seluruh amal puasa kaum muslimin telah diterima oleh Allah, dan menjadi
kaffarah (penghapus) terhadap semua dosa yang meraka lakukan, baik dosa besar
maupun dosa kecil. Padahal tidak ada orang yang bisa memastikan hal ini, karena
tidak ada satupun makhluk yang tahu apakah amalnya diterima oleh Allah ataukah
tidak.
Terkait dengan penilaian amal, ada 2 hal yang perlu kita bedakan,
antara keabsahan amal dan diterimanya amal.
1. Keabsahan amal.
Amal yang sah artinya tidak perlu diulangi dan telah menggugurkan
kewajibannya. Manusia bisa memberikan penilaian apakah amalnya sah ataukah
tidak, berdasarkan ciri lahiriah. Selama amal itu telah memenuhi syarat, wajib,
dan rukunnya maka amal itu dianggap sah.
2. Diterimanya amal
Untuk yang kedua ini, manusia tidak bisa memastikannya dan tidak
bisa mengetahuinya. Karena murni menjadi hak Allah. Tidak semua amal yang sah
diterima oleh Allah, namun semua amal yang diterima oleh Allah, pastilah amal
yang sah.
Karena itulah, terkait diterimanya amal, kita hanya bisa berharap
dan berdoa. Memohon kepada Allah, agar amal yang kita lakukan diterima
oleh-Nya. Seperti inilah yang dilakukan orang shaleh masa silam. Mereka tidak
memastikan amalnya diterima oleh Allah, namun yang mereka lakukan adalah
memohon dan berdoa kepada Allah agar amalnya diterima.
Siapakah kita diandingkan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Seusai memperbaiki
bangunan Ka’bah, beliau tidak ujub dan memastikan amalnya diterima. Namun yang
berliau lakukan adalah berdoa,
رَبَّنَا تَقَبَّلْ
مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Ya Allah, terimalah amal dari kami. Sesungguhnya Engkau Dzat Yang
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 127).
Demikian pula yang dilakukan oleh para sahabat dan generasi
pengikut mereka. Yang mereka lakukan adalah berdoa dan bukan memastikan.
Mu’alla bin Fadl mengatakan:
كانوا يدعون الله تعالى
ستة أشهر أن يبلغهم رمضان يدعونه ستة أشهر أن يتقبل منهم
“Dulu para sahabat, selama enam bulan sebelum datang bulan
Ramadhan, mereka berdoa agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan
Ramadhan. Kemudian, selama enam bulan sesudah Ramadhan, mereka berdoa agar
Allah menerima amal mereka ketika di bulan Ramadhan.” (Lathaiful Ma›arif,
Ibnu Rajab, hal.264)
Karena itu, ketika bertemu sesama kaum muslimin seusai ramadhan,
mereka saling mendoakan,
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا
وَمِنْكُم
“Semoga Allah menerima amal kami dan kalian”
Inilah yang selayaknya kita tiru. Berdoa memohon kepada Allah agar
amalnya diterima dan bukan memastikan amal kita diterima.
Kedua, sesungguhnya ramadhan hanya bisa menghapuskan dosa kecil,
dan bukan dosa besar. Sebagaimana dinyatakan dalam hadis dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمْعَةُ إِلَى
الْجُمْعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ
الْكَبَائِر
“Antara shalat 5 waktu, jumatan ke jumatan
berikutnya, ramadhan hingga ramadhan berikutnya, akan menjadi kaffarah dosa
yang dilakukan diantara amal ibadah itu, selama dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Ahmad 9197 dan
Muslim 233).
Kita perhatikan, ibadah besar seperti shalat lima waktu, jumatan,
dan puasa ramadhan, memang bisa menjadi kaffarah dan penebus dosa yang kita
lakukan sebelumnya. Hanya saja, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyebutkan syarat: ‘selama dosa-dosa besar dijauhi.’ Adanya syarat ini
menunjukkan bahwa amal ibadah yang disebutkan dalam hadis, tidak menggugurkan
dosa besar dengan sendirinya. Yang bisa digugurkan hanyalah dosa kecil.
Lantas bagaimana dosa besar bisa digugurkan?
Caranya adalah dengan bertaubat secara khusus, memohon ampun
kepada Allah atas dosa tersebut. Sebagaimana Allah telah tunjukkan hal ini
dalam Al-Quran,
إِنْ تَجْتَنِبُوا
كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ
وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا
Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara
dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus
kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat
yang mulia (surga). (QS. An-Nisa: 31).
Allahu a’lam
Ditulis
oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembinawww.KonsultasiSyariah.com)
Artikel: www.elmajalis.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar